Karena dikibarkan di tiang 17 Istana
Merdeka setiap upacara 17 Agustus, bendera pusaka yang usianya sudah sangat tua
mulai robek di keempat sudutnya. Pada bulan Agustus 1968, Husein Mutahar sudah
diberitahu oleh Presiden Soeharto tentang rencana pembuatan duplikat bendera
pusaka. Tapi ia mengusulkan agar penggantian dilakukan pada tahun berikutnya,
1969, karena bendera pusaka harus tetap dikibarkan saat Soeharto memulai
jabatan Presiden RI.
Pada tahun 1969, pembuatan bendera
duplikat disetujui. Dalam usulannya, Mutahar meminta agar duplikat bendera
pusaka dibuat dengan tiga syarat, yakni:
(1) bahannya dari benang sutera alam
(2) zat pewarna dan alat tenunnya asli Indonesia
(3) kain ditenun tanpa
jahitan antara merah dan putihnya.
Sayang, gagasan itu tidak semuanya terpenuhi
karena keterbatasan yang ada. Pembuatan duplikat bendera pusaka itu memang
terlaksana, dan dikerjakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung, dibantu PT
Ratna di Ciawi Bogor. Syarat yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena bahan pewama asli Indonesia tidak memiliki warna merah standar bendera.
Sementara penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu
terlalu lama, sedangkan bendera yang akan dibuat jumlahnya cukup banyak.
Duplikat akhimya dibuat dengan bahan sutera, namun menggunakan bahan pewarna
impor dan ditenun dengan mesin. Bendera duplikat itu kemudian dibagi-bagikan ke seluruh daerah tingkat I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri
pada 5 Agustus 1969. Namun, untuk pengibaran pada tanggal 17 Agustus 1969 di
Istana Merdeka, sebelumnya telah dibuat sebuah duplikat bendera pusaka lain
dengan bahan yang tersedia, yakni dari kain bendera (wool) yang berwarna merah
dan putih kekuningkuningan. Karena lebar kainnya hanya 50 cm, setiap bagian merah
dan putih bendera itu terdiri dari masing-masing tiga potongan kain memanjang.
Seluruh potongan itu disatukan dengan
mesin jahit dan pada salah satu bagian pinggimya dipasangi sepotong tali
tambat. Pemasangannya di tali tiang tidak satu persatu (seperti pada duplikat
bendera pusaka hasil karya Balai Penelitian Tekstil), tapi cukup diikatkan pada
kedua ujung tali tambatnya. Ketidaksamaan bentuk tali pengikat antara duplikat
bendera pusaka di Istana Merdeka dengan duplikat bendera pusaka yang dibagikan
ke daerah, seringkali menimbulkan masalah. Dalam pengibaran bendera pusaka di
daerah, terjadi ketidak praktisan saat mengikat tali tambat yang jumlahnya
banyak. Hal itu sering membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengikat menjadi
sangat lama, belum lagi kemungkinan terjadi kesalahan sehingga bendera berbelit
sewaktu dibentang sebelum dinaikkan.
Pada tahun 1984, setelah dikibarkan di
Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus selama 15 kali, bendera duplikat yang
terbuat dari kain wool itu pun terlihat terlihat mulai renta. Mutahar yang
menonton upacara pengibaran bendera oleh Paskibraka melalui pesawat televisi,
tiba-tiba dikejutkan dengan celetukan ’cucunya’. ”Eyang, kok benderanya sudah
tua, apa nggak robek kalau ditiup angin,” kata sang cucu. ”Masya Allah. Aku
baru sadar kalau ternyata bendera duplikat itu usianya sudah 15 tahun. Maka,
siang itu juga aku mengetik surat yang kutujukan pada Pak Harto. Isinya
mengingatkan beliau bahwa bendera duplikat yang dikibarkan di Istana sudah
harus ’pensiun’ dan apa mungkin bila dibuatkan duplikat yang baru,” papar
Mutahar. Ternyata, Pak Harto membaca surat itu dan memenuhi permintaan Mutahar.
”Allah Maha Besar karena suratku diperhatikan oleh Pak Harto,” kenang Mutahar.
Maka, pada tahun 1985 bendera duplikat kedua mulai dikibarkan, sementara
bendera duplikat pertama yang terbuat dari kain wool kini disimpan dalam museum
di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Bendera duplikat kedua untuk
seterusnya menjadi bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus sampai saat ini.
Mengingat usianya yang juga sudah ’renta’ yakni 22 tahun, ada baiknya Presiden
RI kembali diingatkan untuk memeriksa apakah bendera duplikat kedua itu masih layak
untuk dikibarkan. Bila tidak, sudah waktunya pula bendera itu diistirahatkan
dan ditempatkan di museum mendampingi duplikat pertama. Sementara untuk
pengibaran di Istana Merdeka, bisa dibuatkan duplikat yang baru dengan bahan
yang lebih baik dan tahan lama.
Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar