Sebagaimana biasa, setiap memperingati
HUT Kemerdekaan 17 Agustus, Bung Karno sebagai presiden selalu menyampaikan
pidato. Dan, setiap pidato selalu diberi judul tertentu sesuai dengan tema dan
keadaan waktu itu. Demikian pula halnya pada HUT RI ke-19 tahun 1964, Bung
Karno menyampaikan pidato berjudul ”Tahun Vivere Pericoloso”. Kata Vivere
Pericoloso diambil dari bahasa Italia, yang artinya ”...hidup menyerempet
nyerempet bahaya”. Pada bagian depan pidato itu Bung Karno jelas-jelas
menyebutkan bahwa bendera Merah-Putih pusaka yang hanya dikibarkan pada setiap
tanggal 17 Agustus, dulunya dijahit oleh Fatmawati, istrinya yang berasal dari
Bengkulu. Dan, dengan fakta sejarah itu pulalah, Bung Karno kemudian pernah
mengklaim bahwa bendera pusaka itu miliknya pribadi.
Apalagi, sebagaimana kisah
penyelamatan bendera pusaka yang demikian heroik oleh Husein Mutahar saat datangnya
agresi Belanda kedua pada tahun 1948. Bendera itu dititipkan pada Mutahar
dengan perjanjian harus diserahkan kembali kepadanya. Mutahar menepati janjinya
dan bendera pusaka kemudian diserahkan langsung kepada Bung Karno. Sejak itu,
Bung Karno menyimpan sendiri bendera pusaka. Dari tahun 1950, pengibaran bendera
pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka dengan Bung Karno sebagai Inspektur Upacara.
Tapi, itu berlangsung hanya sampai tahun 1966, karena tak lama kemudian, pada Maret
1967, Bung Karno ”dilengserkan” secara paksa melalui Sidang Istimewa MPRS. Sidang
yang sama telah mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Ketika berkunjung
ke rumahnya pada tahun 1993, Mutahar pernah mengisahkan sebuah cerita yang menurutnya
hanya pernah diketahui segelintir orang, dan ”rasanya tidak terlalu penting
untuk diceritakan,” katanya.
Mutahar menyebutkan, bagaimana pada
tahun 1967 ia mendapat perintah untuk mempersiapkan pengibaran bendera pusaka
pada tanggal 17 Agustus. Sebagai Dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), Mutahar memang sedang ingin
mewujudkan gagasannya untuk menyerahkan pengibaran bendera pusaka itu kepada
para pemuda utusan daerah. Segala sesuatu pun dipersiapkan, termasuk memanggil
puluhan pemuda dan pramuka untuk dilatih menjadi Pasukan Penggerek Bendera Pusaka.
Latihan ”ujicoba” pasukan pertama itu berlangsung mulus. Tapi, sesuatu yang ”fatal”
hampir saja terjadi. ”Pasukan Penggerek Bendera Pusaka sudah siap beberapa hari
sebelum 17 Agustus, namun para penanggung jawab upacara baru sadar kalau bendera
pusaka yang akan dikibarkan ternyata tidak ditemukan,” papar Mutahar. Orang
lain pasti akan berpikir sederhana untuk mengatasi masalah itu. Bikin saja
bendera pengganti, toh tidak ada orang yang tahu. Tapi tidak demikian untuk ”seseorang”
seperti Soeharto. Keberadaan bendera pusaka tak dapat digantikan dengan apapun.
Orang akan menganggap ”tidak sah” bila tahu awal masa kepemimpinannya dimulai
tanpa bendera pusaka. Akhirnya diketahuilah bahwa bendera pusaka masih berada
di tangan Bung Karno. Akan tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya mengambil
bendera itu. ”Dalam kebingungan itu, saya dipanggil ke Istana. Hanya sedikit orang
yang tahu bagaimana menghadapi Bung Karno pada saat-saat seperti itu. Tapi saya
tahu sifat beliau. Maka saya bilang, kirimkan keempat Panglima Angkatan untuk
meminta bendera itu,” papar Mutahar. ”Tebakan” Mutahar ternyata benar. Bung
Karno yang sudah ”diistirahatkan” di Bogor menjadi lembut hatinya ketika
didatangi.
Memang mulanya agak ragu-ragu, tapi
beberapa saat kemudian Bung Karno berkata dengan tenang. ”Baik, tanggal 16
Agustus kalian datang lagi ke sini, lengkap dengan semua Panglima keempat
Angkatan. Saya akan lakukan acara resmi serah terima bendera pusaka...” . Maka,
sebagaimana dijanjikan, pada tanggal 16 Agustus malam, keempat Panglima
Angkatan —sebutan untuk pimpinan ABRI dan Polri masa itu— menghadap ke Istana
Bogor. Tanpa diduga, mereka kemudian diajak balik lagi ke Jakarta dan akhirnya
menuju ke Monumen Nasional (Monas). Ternyata, selama itu bendera pusaka memang
disimpan Bung Karno dalam ruang bawah tanah di dalam Monumen Nasional. Bendera
pusaka kemudian dibawa ke Istana Merdeka. Atas perintah Presiden Soeharto,
Mutahar dipanggil ke Istana untuk memastikan apakah bendera pusaka itu memang
asli. Hanya Mutahar, satu-satunya orang yang tahu betul bentuk bendera pusaka,
karena dia yang membuka jahitan tangan Ibu Fatmawati. Dia pula yang menyambungkan
kembali bagian merah dan putih dengan mesin jahit — dan terjadi kesalahan jahit
kecil sekitar 2 cm di ujungnya. Sejak itu, Soeharto menempatkan bendera pusaka
di Istana, dalam sebuah kotak kayu berukir yang di dalamnya diberi potongan
kayu cendana sehingga berbau harum bila dibuka. Bendera pusaka yang sudah usang
itu selalu diperlihatkan kepada para anggota Paskibraka setiap tanggal 16
Agustus, untuk membangkitkan semangat mereka sebelum bertugas esok hari. Memang
terbetik berita, bendera pusaka rencananya akan kembali ditempatkan di Monumen
Nasional. Berbagai persiapan telah dirancang, termasuk rencana mengarak bendera
pusaka dari Istana Merdeka ke Monas yang jaraknya hanya beberapa ratus meter,
yang konon menelan biaya tidak kecil.
Namun, rencana itu belum terwujud.
Begitulah, bendera pusaka memang dijahit oleh Ibu Fatmawati. Dikibarkan sesaat
setelah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di depan kediaman
Bung Karno, Jalan PegangsaanTimur 56 Jakarta. Disimpan dan dijaga Bung Karno
dengan segenap jiwa dan raga. Tapi, Bung Karno juga tahu, bahwa bendera pusaka adalah
sebuah prasasti yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia, bukan miliknya pribadi.
Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Juni 2007
Penulis : Syaiful Azram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar